Senin, Desember 29, 2014

Takut Akan Ketinggian

Phobia adalah rasa takut yang berlebihan terhadap suatu hal atau pada situasi-situasi tertentu. Ada banyak jenis-jenis phobia, salah satunya adalah Acrophobia. Acrophobia adalah rasa takut akan ketinggian.

Berada ditempat tinggi terasa sangat menyenangkan bagi saya karena kita bisa melepaskan beban sejenak dengan menikmati pemandangan-pemandangan indah dari atas, mendaki gunung, bermain roller coaster, dan melakukan berbagai hal lainnya, tetapi bagi orang yang menderita Acrophobia tempat tinggi terasa sangat menyeramkan sehingga sering kali mereka akan tiba-tiba berkeringat dingin, mual, pusing, dan berbagai gejala lainnya.

Saya tahu beberapa orang yang menderita acrophobia, phobia ini muncul karena beberapa hal, misalnya:
- Trauma, mereka mungkin pernah mengalami hal atau kejadian yang sangat menyakitkan ditempat tinggi sehingga rasa sakit itu seakan-akan akan muncul kembali jika mereka berada ditempat tinggi.
- Pola Asuh Orang Tua yang kurang tepat, ada beberapa orang tua yang suka menakuti anak mereka, misalnya saat anak mereka berada ditempat tinggi mereka bilang berbagai hal yang menyeramkan, sehingga rasa takut itu melekat dalam diri sang anak.
- Pola pikir yang salah, sebagian orang selalu menganggap bahwa berada ditempat tinggi sangat berbahaya, padahal sebenarnya tidak demikian.

Ada beberapa cara untuk menghilang kan phobia ini, yang pertama adalah dengan memberikan sugesti-sugesti agar orang tersebut bisa menghilangkan rasa takutnya terhadap ketinggian sedikit demi sedikit. Yang kedua adalah dengan mengajak orang yg menderita acrophobia untuk berada ditempat tinggi, semakin sering dia berada ditempat yang tinggi semakin dia bisa mengatasi rasa takutnya, atau kita juga bisa mengajak mereka untuk membayangkan betapa menyenangkan berada ditempat tinggi, menikmati pemandangan-pemandangan indah, dorongan-dorongan seperti itu bisa menimbulkan keberania sehingga phobia mereka bisa sembuh.

Dari yang saya tahu, ada beberapa orang yang berhasil mengatasi phobia mereka, tetapi ada juga beberapa orang yang tidak berhasil.

Minggu, Juli 06, 2014

Pihak Yang diawasi KPPU

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Undang-undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:

Tugas

1.    melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;

2.    melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

3.    melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;

4.    mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;

5.    memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

6.    menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;

7.    memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Wewenang

1.    menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

2.    melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

3.    melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;

4.    menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

5.    memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

6.    memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

7.    meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;

8.    meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;

9.    mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Kasus

Dugaan Perjanjian Tertutup dan Penguasaan Pasar oleh BRI

Perkara Nomor 05/KPPU-I/2014 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan atau Pasal 19 huruf a yang dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk., (Persero) sebagai Terlapor I, PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera sebagai Terlapor II, dan PT. Heksa Eka Life Insurance sebagai Terlapor III mulai disidangkan di Gedung KPPU pada Rabu (2/4).

Agenda pada sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Sukarmi didampingi Anggota Majelis Kamser Lumbanradja dan Chandra Setiawan adalah pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran oleh Investigator. Sedangkan yang menjadi obyek perkara adalah produk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) BRI yang mempersyaratkan asuransi jiwa dari konsorsium PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera dan PT. Heksa Eka Life Insurance.

Dari Laporan Dugaan Pelanggaran yang dibacakan oleh Investigator tersebut diketahui bahwa dugaan pelanggaran  Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terbukti dengan adanya Perjanjian KPR BRI yang dibuat antara Terlapor I selaku pelaku usaha dengan debitur KPR BRI selaku pihak lain. Perjanjian KPR BRI tersebut terbukti memuat persyaratan bahwa debitur KPR BRI selaku pihak yang menerima barang tertentu berupa KPR BRI, diwajibkan membeli barang lain yaitu dengan membayar premi untuk asuransi jiwa dari Konsorsium Terlapor II dan Terlapor III selaku pelaku usaha pemasok. Maka dengan demikian seluruh unsur Pasal 15 ayat (2) terpenuhi.

Sedangkan dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah terbukti karena Terlapor I melakukan kegiatan bancassurance bersama dengan pelaku usaha lain yaitu Terlapor II dan Terlapor III, yang menolak dan atau menghalangi perusahaan asuransi jiwa lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar produk asuransi jiwa bagi debitur KPR BRI di seluruh wilayah Indonesia.

Upaya menolak dan atau menghalangi perusahaan asuransi jiwa lain dilakukan dengan cara menerapkan terms and conditions yang sulit untuk dipenuhi oleh calon rekanan Terlapor I. Kegiatan bancassurance antara Terlapor I dengan Konsorsium Terlapor II dan Terlapor III serta penerapan terms and conditions bagi calon rekanan Terlapor I tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli pemasaran asuransi jiwa kredit oleh Konsorsium Terlapor II dan Terlapor III yang merugikan kepentingan umum dimana debitur KPR tidak memiliki alternatif pilihan penyedia asuransi jiwa kredit.

Kegiatan yang dilakukan oleh Terlapor I bersama-sama dengan Terlapor II dan Terlapor III menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat berupa pemasaran asuransi jiwa kredit yang dilakukan dengan cara melawan hukum karena melanggar ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/35/DPNP tanggal 23 Desember 2010.

Kegiatan yang dilakukan oleh Terlapor I bersama-sama dengan Terlapor II dan Terlapor III tersebut juga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat berupa hambatan masuk bagi perusahaan asuransi jiwa lain yang menjadi pesaing potensial Konsorsium Terlapor II dan Terlapor III.

Sidang pertama ini hanya dihadiri oleh pihak dari Terlapor II dan Terlapor III, sedangkan Terlapor I tidak hadir. Agenda sidang berikutnya adalah tanggapan dari para Terlapor terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran.

Keterangan Pasal

Pasal 15

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.”

Pasal 19

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan

Sumber :
http://www.kppu.go.id
http://www.kppu.go.id/id/2014/04/dugaan-perjanjian-tertutup-dan-penguasaan-pasar-oleh-bri/

Rabu, Juni 04, 2014

MEMBEDAH KASUS MENGENAI HAK CIPTA

Pengertian Hak Cipta

 Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Dasar Perlindungan Hak Cipta

 Undang-undang Hak Cipta (UUHC) pertama kali diatur dalam undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian diubah dengan undang-undang No.7 Tahun 1987. Pada tahun 1997 diubah lagi dengan undang-undang No.12 Tahun 1997. Di tahun 2002, UUHC kembali mengalami perubahan dan diatur dalam Undang-undang No.19 Tahun 2002.

Beberapa peraturan pelaksanaan di bidang hak cipta adalah sebagai berikut:
♦   Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1986 Jo Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta;
♦   Peraturan Pemerintah RI No.1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyak Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan,   Ilmu   Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan;
♦   Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang   Persetujuan  Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman   Suara  antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa;
♦   Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat;
♦   Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Pesetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia;
♦   Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris;
♦    Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997  tentang   Pengesahan   Berne Convention  For The  Protection  Of Literary and Artistic Works;
♦    Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997  tentang   Pengesahan  WIPO Copyrights Treaty;
♦    Keputusan Presiden RI No.74 Tahun 2004  tentang   Pengesahan  WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT);
♦    Peraturan   Menteri   Kehakiman   RI No.M.01-HC.03.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan;
♦    Keputusan   Menteri  Kehakiman   RI No.M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidikan Hak Cipta;
♦    Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1990 tentang Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta;
♦    Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.M.02.HC.03.01 Tahun 1991 tentang kewajiban Melampirkan NPWP dalam Permohonan Pendaftaran Ciptaan dan Pencatatan Pemindahan Hak Cipta Terdaftar. 

Contoh Kasus

Album Koes Plus 'Dheg Dheg Plus'

Pihak pemegang hak cipta lagu album Koes Plus 'Dheg Dheg Plus' dimiliki oleh Tommy Darmo.  Tommy melaporkan pihak label RPM yang tiba-tiba merilis ulang lagu tersebut.

Alhasil pihak Tommy pun membawa kasus tersebut ke Polda Metro Jaya. RPM dianggap melanggar Undang-undang No 12/2009 tentang hak cipta lagu. Ia pun mengajukan gugatan dan meminta ganti rugi senilai Rp 9,9 miliar.

Penyelesaian :
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan arahan bahwa royalti dibayarkan pada pencipta lagu dan musik. Kenapa pencipta lagu dan musik, karena sesungguhnya merekalah yang telah berupaya mencurahkan seluruh ide, gagasan dan imajinasinya untuk menghasilkan musik dan lagu tersebut. Mencurahkan ide, gagasan dan imajinasi tentu perlu biaya, waktu, tenaga dan kemampuan berfikir. Karena itu, wajarlah apabila pencipta berhak mendapatkan royalti atas penggunaan karyanya oleh pihak lain, terlebih jika dilakukan untuk kepentingan komersial.

Untuk kasus diatas Menurut Pasal 2 ayat (1) UUHC, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan hak eksklusif, menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC, adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.

Sedangkan dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.

Lagu atau musik dalam UUHC adalah salah satu ciptaan yang dilindungi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. Lagu atau musik ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. 

Lalu apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak cipta itu? UUHC menyebutkan hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta di dalam Pasal 15 UUHC. Pasal ini mengatakan bahwa dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a.       penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b.      pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c.       pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan: 
- ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
- pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d.      Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
e.      Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f.        perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g.       pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Dalam hal ini, musik tidak termasuk ke dalam hal-hal yang dapat dianggap bukan pelanggaran hak cipta. Dapat disimpulkan pula dalam tindakan plagiarisme musik, plagiator melakukan tindakan memperbanyak suatu bagian yang substansial dari suatu karya musik dengan jalan menyalin tanpa izin pencipta. 

Atas pelanggaran hak cipta dalam Pasal 2 UUHC, pelaku plagiarisme dapat dijerat dengan ancaman pidana menurut Pasal 72 ayat (1) UUHC dengan dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Adapun penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran ini dapat dilakukan melalui Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa (penjelasan umum UUHC).

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UUHC, pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepadaPengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu. Kemudian, selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga, para pihak juga dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 65 UUHC).

Referensi
http://pusathki.uii.ac.id/artikel/artikel/solusi-sengketa-hak-cipta.html
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt533af41a41909/penerapan-hukum-dalam-plagiarisme-musik

Sumber berita:
http://kumpulan-berita-unik.blogspot.com/2013/07/Kasus-Hak-Cipta-Lagu-Di-Indonesia.html

UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN CONTOH KASUSNYA

I. UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang     :    
a.   bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.   bahwa pembangunan perekonomian nasional opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c.    bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d.   bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindung dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab;
e.   bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
f.    bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g.   bahwa untuk itu perlu dibentuk undang undang tentang perlindungan konsumen.

Mengingat          :  
Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan      :       UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
2.      Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3.      Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4.      Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5.      Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6.      Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.      Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8.      Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9.      Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10.  Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11.  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12.  Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13.  Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan :
a.       meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.      mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.       meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.      menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.      menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.        meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama

Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4

Hak konsumen adalah :
a.       hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.      hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.        hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.       hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah :
a.       membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.      beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.       membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.      mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6

Hak pelaku usaha adalah :
a.       hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.       hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.       beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.      memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.       memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.      menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.      memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.        memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.       memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB IV

PERBUATAN YANG DILARANG

BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8

(1)    Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.       tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b.      tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.       tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.      tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.      tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.        tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.       tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.      tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.         tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j.        tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

(2)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4)    Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9

(1)    Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah:
a.       barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.      barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.       barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
d.      barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.      barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.        barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.       barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.      barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.         secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.        menggunakan katakata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k.       menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2)    Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3)    Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.       harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.      kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.       kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.      tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.      bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11

Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a.       menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.      menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.       tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.      tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.      tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.        menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Pasal 13

(1)    Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2)    Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a.       tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.      mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c.       memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.      mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a.       tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.      tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17

(1)    Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.       mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.      mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.       memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.      tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.      mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.        melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai periklanan.

(2)    Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

BAB V

KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU

Pasal 18

(1)    Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.       menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.      mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.        memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.       menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2)    Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)    Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)    Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini.

BAB VI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pasal 19

(1)    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2)    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3)    Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4)    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1)    Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2)    Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24

(1)    Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a.       pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.      pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2)    Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25

(1)    Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2)    Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a.       tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.      tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.       barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.      cacat barang timbul pada kemudian hari;
c.       cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.      kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.      lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.

BAB VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama

Pembinaan

Pasal 29

(1)    Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2)    Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3)    Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4)    Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a.       terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.      berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.       meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan  penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 30

(1)    Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2)    Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3)    Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4)    Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5)    Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6)    Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

Bagian Pertama

Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas

Pasal 31

Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 32

Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 33

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

Pasal 34

(1)    Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.       memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.      melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.       melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.      mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.      menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.        menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.       melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

(2)    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.

Bagian Kedua

Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 35

(1)    Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurangkurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyakbanyaknya 25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2)    Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)    Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)    Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.

Pasal 36

Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a.       pemerintah;
b.      pelaku usaha;
c.       lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d.      akademis; dan
e.      tenaga ahli.

Pasal 37

Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.      berbadan sehat;
c.       berkelakuan baik;
d.      tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.      memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f.        berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 38

Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a.       meninggaldunia;
b.      mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.       bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia;
d.      sakit secara terus menerus;
e.      berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f.        diberhentikan.

Pasal 39

(1)    Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu oleh sekretariat.
(2)    Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3)    Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 40

(1)    Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2)    Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 41

Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 42

Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX

LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN

SWADAYA MASYARAKAT

Pasal 44

(1)    Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2)    Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3)    Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a.       menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.       bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.      membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.      melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB X

PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Pertama

Umum

Pasal 45

(1)    Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2)    Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3)    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang.
(4)    Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 46

(1)    Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.       seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.      kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.       lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2)    Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3)    Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 47

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 48

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

BAB XI

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Pasal 49

(1)    Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2)    Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.      berbadan sehat;
c.       berkelakuan baik;
d.      tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.      memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.        berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3)    Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsure konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4)    Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang.
(5)    Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 50

Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas:
a.       ketua merangkap anggota;
b.      wakil ketua merangkap anggota;
c.       anggota.

Pasal 51

(1)    Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
(2)    Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
(3)    Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 52

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a.       melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.      memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.       melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.      melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini;
e.      menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.        melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g.       memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.      memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini;
i.         meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.        mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.       memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.         memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m.    menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undangundang ini.

Pasal 53

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal 54

(1)    Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
(2)    Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikitsedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3)    Putusan majelis final dan mengikat.
(4)    Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal 55

Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.

Pasal 56

(1)    Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2)    Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3)    Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4)    Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(5)    Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Pasal 57

Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.

Pasal 58

(1)    Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2)    Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3)    Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

BAB XII

PENYIDIKAN

Pasal 59

(1)    Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2)    Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b.      melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukm yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
d.      melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e.      melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f.        meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3)    Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4)    Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

BAB XIII

S A N K S I

Bagian Pertama

Sanksi Administratif

Pasal 60

(1)    Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
(2)    Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3)    Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan.

Bagian Kedua

Sanksi Pidana Pasal 61

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62

(1)    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2)    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)    Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a.       perampasan barang tertentu;
b.      pengumuman keputusan hakim;
c.       pembayaran ganti rugi;
d.      perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.      kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.        pencabutan izin usaha.

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undangundang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 65

Undang undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 20 April 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 20 April 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA


II. Contoh Kasus

KONFLIK KETENAGAKERJAAN : Buruh PT SSIP Di-PHK, SBSI Tuntut Keadilan

Solopos.com,SUKOHARJO — DPC Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sukoharjo menuntut masalah peselisihan antara buruh dengan manajemen PT Sami Surya Indah Plastik (SSIP) di Pandeyan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah diselesaikan secepatnya. Buruh dinilai mendapat perlakuan tak adil setelah diberhentikan sepihak.“Persoalan ini muncul karena ada tiga orang buruh perempuan yang diberhentikan sepihak. Persoalan lainnya yakni berkaitan dengan keberadaan buruh tidak diikutsertakan dalam BPJS,” ujar Ketua DPC SBSI Sukoharjo Slamet Riyadi seusai mengadu ke Komisi IV DPRD Sukoharjo di Gedung Dewan setempat, Sabtu (26/4/2014).

Terkait masalah itu DPC SBSI bersama buruh mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) dan DPRD Sukoharjo. Kedua institusi di lingkungan Pemkab Sukoharjo itu pun memfasilitasi pertemuan dengan pihak perusahaan dan BPJS yang dihadirkan di gedung Dewan.Slamet menceritakan ketiga buruh perempuan itu sejak 24 Maret sudah tak bekerja di perusahaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Mereka adalah Sri Sartini, Sri Pujianti dan Sriyanti. Mereka memiliki masa kerja empat tahun hingga 12 tahun.

Mereka dinilai mendapat perlakukan tak adil karena dianggap masa kerja sesuai kontrak telah habis. Karena itu mereka kemudian tak mendapat perpanjangan. Slamet menyelaskan pemutusan hubungan kerja itu karena perusahaan mengklaim ketiga buruh menolak meneken kontrak kerja baru. Padahal sebenarnya kejadian tersebut sama sekali tidak ada. “Justru perusahaan yang tidak mau mempekerjakan ketiga buruh itu lagi,” kata Slamet.

Jika melihat masa kerja para buruh itu, ungkap Slamet, sesuai aturan, seharusnya mereka sudah diangkat sebagai pekerja tetap. Tapi kenyataanya mereka dianggap masih berstatus kontrak.Sementara itu, salah seorang buruh yang diberhentikan sepihak, Sriyanti, mengakui dia dan rekan-rekannya diberhentikan sepihak. “Kami sudah satu bulan ini tidak bekerja di PT SSIP karena itu saya berharap ada kejelasan nasib,” papar dia.

Sementara itu, HRD PT SSIP, Hendro, mengatakan soal kejelasan nasib ketiga buruh dan pekerja lainnya termasuk permintaan mengikutsertakan dalam BPJS, pihaknya belum bisa memberikan jawaban. Menurut dia, hal itu membutuhkan pembicaraan lanjut dengan pimpinan perusahaan.Wakil Ketua DPRD Sukoharjo, Nurdin mengatakan, Disnakertrans seharusnya bisa menjembatani persoalan antara buruh dengan perusahaan. Yang terjadi kenyataannya justru penanganan dianggap terlalu lama. Hal itu dinilai membuat buruh semakin kesal sehingga mengadu ke DPRD. Karena itu Nurdin berharap keputusan akan diberikan perusahaan pada 8 Mei sesuai kesepakatan bersama. “Saya berharap nanti juga harus segera diputuskan pihak perusahaan, terkait tuntutan buruh agar diikutsertakan dalam BPJS,” kata Nurdin.

Analisis:
Kasus diatas jelas sekali bahwa hal tersebut merugikan pihak buruh nya dimana mereka diberhentikan secara sepihak tanpa pembicaraan lebih lanjut serta jam kerja yang tidak teratur, akan lebih baik jika perusahaan bisa memberikan tindakan atau jawaban yg jelas, tegas, dan cepat agar buruh buruh tersebut bisa mendapatkan kejelasan tentang nasib mereka kedepannya.

Referensi:

http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/447/node/34/uu-no-8-tahun-1999-perlindungan-konsumen

http://www.solopos.com/2014/04/27/konflik-ketenagakerjaan-buruh-pt-ssip-di-phk-sbsi-tuntut-keadilan-504913

Sabtu, April 26, 2014

Surat Perjanjian

Contoh Surat Perjanjian

SURAT PERJANJIAN NIKAH    

Pada hari ini, sabtu, tanggal duapuluhenam bulan empat tahun dua ribu empatbelas (26-04-2014), bertempat di Jakarta, telah ditanda- tangani perjanjian perkawinan oleh dan antara:

1.  Nama                                           : Lu han
     Alamat                                         : Jalan Sayang, Perumahan Exo, Jakarta
     Tempat dan Tanggal Lahir   : Jakarta, 20 April 1990

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama  

2. Nama                                          : Vivian
    Alamat                                        : Jalan Cinta, Perumahan Exotic, Jakarta
    Tempat dan Tanggal Lahir  : Jakarta,10 November 1995
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.  

Kedua belah pihak, berdasarkan itikad baik, sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu bersepakat untuk mengikatkan diri dan tunduk pada perjanjian ini.

Prinsip Dasar

Pasal 1
Kedua belah pihak adalah saling sama hak, saling sama martabat, dan saling sama kedudukan di depan hukum

Pasal 2
Perjanjian berasaskan pada prinsip keadilan, kesetaraan, kesamaan kedudukan, hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perkawinan Monogami

Pasal 3
Kedua belah pihak sepakat bahwa pada prinsipnya perkawinan ini hanya tunduk pada perkawinan monogami

Pasal 4
(1) Dalam keadaan khusus, kedua belah pihak sepakat untuk mengabaikan prinsip monogami

(2) Keadaan khusus tersebut adalah :
a. Dalam jangka waktu 15 tahun setelah perkawinan disahkan oleh pejabat yang berwenang, salah satu pihak berdasarkan surat keterangan dari Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Perjanjian ini, dinyatakan tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh keturunan dan;
b. Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan pengangkatan anak (adopsi)

(3) Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perjanjian ini adalah RSB XXX

Pasal 5
Pengabaian prinsip monogami ini, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Harta Kekayaan Dan Pengelolaan Kekayaan

Pasal 6
(1) Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi : XXX (sebutkan satu persatu)

(2) Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama merupakan hak dari Pihak Pertama

(3) Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1)

(4) Tindakan hukum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, dan menjaminkan kepada pihak ketiga

Pasal 7
(1) Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi : XXX (sebutkan satu persatu)

(2) Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama merupakan hak dari Pihak Pertama

(3) Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1)

(4) Tindakan hukum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, dan menjaminkan kepada pihak ketiga

Pasal 8
(1) Harta Kekayaan yang diperoleh oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya perkawinan adalah harta milik bersama.

(2) Pengelolaan harta kekayaan bersama tersebut dijalankan secara bersama-sama

(3) Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan hukum tanpa ijin terhadap harta bersama termasuk namun tidak terbatas pada menjual, membeli, menggadaikan, dan menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga

Perlindungan Anak Dan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga

Pasal 9
(1) Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan tindak pidana kekerasan terhadap rumah tangga sebagai telah diatur dalam UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(2) Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga inti maupun terhadap orang – orang yang bekerja dalam rumah yang merupakan tempat kediaman dan/atau tinggal dari kedua belah pihak

Pasal 10
(1) Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan perhatian yang baik terhadap tumbuh kembang anak.

(2) Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan waktu yang seimbang terhadap anak

(3) Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Perubahan Perjanjian

Pasal 11
Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak

Pasal 12
Perubahan perjanjian hanya dimungkinkan terhadap ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian ini serta tidak bertentangan dengan hukum

Pasal 13
Perubahan perjanjian tersebut bersifat penambahan sehingga akan melekat terhadap perjanjian ini

Pasal 14
Perubahan perjanjian hanya sah, berlaku, dan mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan pengesahan dari Ketua Pengadilan Negeri dimana perjanjian ini didaftarkan

Perselisihan

Pasal 15
(1) Apabila terjadi perselisihan mengenai isi dan penafsiran dari perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara damai

(2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk satu atau lebih mediator

(3) Mediator berjumlah ganjil yang jumlahnya sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima

(4) Pengaturan tentang mediasi akan diatur dalam perjanjian lain yang melekat pada perjanjian ini

(5) Pengaturan tentang mediasi dapat dilakukan pada waktu terjadinya perselisihan

Pasal 16
Apabila mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri XXX sebagai tempat penyelesaian perselisihan

Pihak Pertama                                                         Pihak Kedua        

    ( Lu Han )                                                                  ( Vivian  )  

Referensi :
http://bkbhumm.blogspot.com/2007/04/contoh-perjanjian-nikah.html

Tugas 2 Softskill
Vivian Liminata
2EB01

Minggu, Maret 16, 2014

HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

Pengertian Hukum

Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.
Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan didepan hukum.
Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.

Unsur-unsur Hukum
-Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
-Peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa.
-Peraturan itu di adakan oleh badan-badan resmi.
-Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang tegas.

Tujuan Hukum

Tujuan hukum mempunyai  sifat universal seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum  maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

Sumber Sumber Hukum

Sumber-sumber hukum dapat ditinjau dari segi material dan segi formal :
- Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut,misalnya dari sudut ekonomi,sejarah sosiologi,filsafat dan sebagainya.
contoh :
a.Seorang ahli ekonomi akan mengatakan ,bahwa kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
b.Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

- Sumber-sumber hukum formal antara lain ialah :

1.      Undang-undang (statute)Ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
2.       Kebiasaan (Costum)Ialah suatu perbuatan manusia uang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal sama . Apabila suatu kebiasaan tersebut diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbul suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
3.       Keputusan-keputusan hakim (Jurisprudentie)Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila Undang – undang ataupun kebiasaan tidak member peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
4.       Traktat (treaty)Perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih disebut perjanjian antara Negara atau perjanjian internasional ataupun traktat. Traktat juga mengikat warganeraga dari Negara-negara yang bersangkutan.
5.       Pendapat sarjana hukum (doktrin)Dalam yurisprudensi terlihat bahwa hukum sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusannya, hakim sering menyebut pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya, apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya.

Hukum Ekonomi

Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. 
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran.

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

a) Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal).

b) Hukum ekonomi sosial yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata sesuai dengan hak asasi manusia (misal hukum perburuhan dan hukum perumahan).

CONTOH HUKUM EKONOMI

1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.


Referensi:
http://bernaduscarl.blogspot.com/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/pengertian-hukum-dan-hukum-ekonomi-2/
http://kadekarisupawan.wordpress.com/2013/03/18/pengertian-dan-jenis-jenis-hukum/
http://agilbhetec.blogspot.com/2013/04/pengertian-hukum-dan-hukum-ekonomi.html


#TugasSoftskill
Vivian Liminata
2EB01

Senin, Januari 20, 2014

Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter 

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement",kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Jenis-jenis Kebijakan Moneter

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 
1. Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)

2. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : 
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat.
Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

2. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio. Imbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

Tujuan Kebijakan Moneter

Di Indonesia Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal    
A. Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral adalah :

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian “single objective”-nya.

Yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah adalah Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1. tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan
2. tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran.
Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar.
Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.

B. Pentingnya kestabilan harga

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

C. Peran Kebijakan Moneter

Mengendalikan Inflasi

Mengingat tugas spesifik yang diemban oleh Bank Indonesia seperti tersebut di atas, Bank Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengendalikan inflasi, terutama tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran (cost push inflation). Bank Indonesia, melalui kebijakan moneter, dapat mempengaruhi inflasi dari sisi permintaan, seperti investasi dan konsumsi masyarakat.
Misalnya, kebijakan kenaikan suku bunga dapat mengerem pengeluaran masyarakat dan pemerintah sehingga dapat menurunkan permintaan secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat menurunkan inflasi. Selain itu, kenaikan suku bunga ini dapat menguatkan nilai tukar melalui peningkatan (positive) interest rate differential. Demikian juga, Bank Indonesia dapat mempengaruhi ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang konsisten dan kredibel. Harapannya adalah sasaran (target) inflasi Bank Indonesia diacu oleh masyarakat dan pelaku ekonomi sehingga inflasi yang terjadi dapat sama atau mendekati sasaran inflasi. 
Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat diminimalkan. Secara teori, kebijakan moneter dapat ditransmisikan melalui berbagai jalur (channel), yaitu jalur suku bunga, jalur kredit perbankan, jalur neraca perusahaan, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Dengan melewati jalur-jalur tersebut, kebijakan moneter akan ditransmisikan dan berpengaruh ke sektor finansial dan sektor riil setelah beberapa waktu lamanya (lag of monetery policy) .
Selain kebijakan moneter yang bersifat “langsung” seperti di atas, bank sentral juga dapat mempengaruhi tujuan akhirnya secara “tidak langsung”, yaitu melalui berbagai regulasi dan himbauan (moral suassion) kepada sektor perbankan guna mempercepat mekanisme transmisi kebijakan moneter. Dalam melaksanakan pengendalian moneter Bank Indonesia diberikan kewenangan dalam menggunakan instrumen moneter berupa tetapi tidak terbatas pada

(i) Operasi Pasar Terbuka (open market operation),
(ii) penetapan tingkat diskonto (discount rate),
(iii) penetapan Giro Wajib Minimum (minimum reserve requirement), dan
(iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.

D. Alasan Perubahan Kerangka Kerja Sebelumnya (Base Money Targetting) Sejak dilepasnya sistem crawling band, Bank Indonesia mentargetkan base money (base money targeting) dalam kerangka kebijakan moneternya. Kerangka tersebut tidak terlepas dari upaya Bank Indonesia untuk menyerap kembali kelebihan likuiditas di perbankan sebagai dampak dari adanya bantuan likuiditas Bank Indonesia sebagai konsekuensi fungsi Bank Indonesia sebagailender of the last resort. 
Kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan program moneter ini diformalkan sebagai bagian dari program IMF. Base money targeting framework didasarkan pada teori kuantitas uang (quantity theory of money), yaitu MV=PY4 . 
Efektivitas kerangka ini sangat tergantung kepada stabilitas velocity uang beredar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, framework ini akan berjalan baik apabila:
(i) hubungan antara base money dan inflasi stabil
(ii) bank sentral dapat mengendalikan uang kartal.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia menghadapi permasalahan dalam menggunakan framework ini. Hal ini disebabkan oleh :
- Hubungan M0 dengan P dan Y tidak stabil, karena terdapat perubahan struktural pasca krisis.
- Seolah-olah terdapat dua nominal anchor, yaitu pencapaian sasaran inflasi dan target base money
- Respon kebijakan moneter cenderung backward looking.
- Cukup sulit mengendalikan base money, karena sebagian besar komponennya terdiri dari uang kartal yang perilakunya lebih dipengaruhi oleh permintaan (demand determined)

Berbagai perubahan-perubahan struktural pasca krisis antara lain ditandai dengan :
- Penerapan floating exchange rate yang menyebabkan volatilitas nilai tukar yang lebih tinggi
- Restrukturisasi dan fungsi intermediasi perbankan terkait dengan program rekapitalisasi dan pergeseran portfolio aset dari kredit ke obligasi
- Permasalahan sektor riil yang mengakibatkan turunnya permintaan kredit.
- Munculnya berbagai inovasi produk perbankan, diantaranya reksadana.

Studi di Bank Indonesia menyimpulkan bahwa akibat adanya perubahan struktural di atas, peran suku bunga menjadi semakin penting (dibandingkan dengan uang beredar) dalam mempengaruhi inflasi. Untuk itu, perlu dilakukan peninjauan ulang dan perubahan formulasi kerangka kerja kebijakan moneter (monetary policy framework) Bank Indonesia yang selama ini telah dianut, dari pendekatan yang sifatnya pragmatis (eclectic approach) ke dalam suatu framework baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat.

Referensi :
http://ibnusapa.blogspot.com/2012/04/peranan-pemerintah-dalam-kebijakan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
http://kadandia.blogspot.com/2012/04/kebijakan-moneter-di-indonesia.html
http://yanesscihuy.wordpress.com/2012/03/19/kebijakan-moneter-bank-indonesia/
http://ibnusapa.blogspot.com/2012/04/peranan-pemerintah-dalam-kebijakan.html