Rabu, Juni 04, 2014

MEMBEDAH KASUS MENGENAI HAK CIPTA

Pengertian Hak Cipta

 Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Dasar Perlindungan Hak Cipta

 Undang-undang Hak Cipta (UUHC) pertama kali diatur dalam undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian diubah dengan undang-undang No.7 Tahun 1987. Pada tahun 1997 diubah lagi dengan undang-undang No.12 Tahun 1997. Di tahun 2002, UUHC kembali mengalami perubahan dan diatur dalam Undang-undang No.19 Tahun 2002.

Beberapa peraturan pelaksanaan di bidang hak cipta adalah sebagai berikut:
♦   Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1986 Jo Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta;
♦   Peraturan Pemerintah RI No.1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyak Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan,   Ilmu   Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan;
♦   Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang   Persetujuan  Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman   Suara  antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa;
♦   Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat;
♦   Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Pesetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia;
♦   Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris;
♦    Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997  tentang   Pengesahan   Berne Convention  For The  Protection  Of Literary and Artistic Works;
♦    Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997  tentang   Pengesahan  WIPO Copyrights Treaty;
♦    Keputusan Presiden RI No.74 Tahun 2004  tentang   Pengesahan  WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT);
♦    Peraturan   Menteri   Kehakiman   RI No.M.01-HC.03.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan;
♦    Keputusan   Menteri  Kehakiman   RI No.M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidikan Hak Cipta;
♦    Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.M.01.PW.07.03 Tahun 1990 tentang Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta;
♦    Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.M.02.HC.03.01 Tahun 1991 tentang kewajiban Melampirkan NPWP dalam Permohonan Pendaftaran Ciptaan dan Pencatatan Pemindahan Hak Cipta Terdaftar. 

Contoh Kasus

Album Koes Plus 'Dheg Dheg Plus'

Pihak pemegang hak cipta lagu album Koes Plus 'Dheg Dheg Plus' dimiliki oleh Tommy Darmo.  Tommy melaporkan pihak label RPM yang tiba-tiba merilis ulang lagu tersebut.

Alhasil pihak Tommy pun membawa kasus tersebut ke Polda Metro Jaya. RPM dianggap melanggar Undang-undang No 12/2009 tentang hak cipta lagu. Ia pun mengajukan gugatan dan meminta ganti rugi senilai Rp 9,9 miliar.

Penyelesaian :
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberikan arahan bahwa royalti dibayarkan pada pencipta lagu dan musik. Kenapa pencipta lagu dan musik, karena sesungguhnya merekalah yang telah berupaya mencurahkan seluruh ide, gagasan dan imajinasinya untuk menghasilkan musik dan lagu tersebut. Mencurahkan ide, gagasan dan imajinasi tentu perlu biaya, waktu, tenaga dan kemampuan berfikir. Karena itu, wajarlah apabila pencipta berhak mendapatkan royalti atas penggunaan karyanya oleh pihak lain, terlebih jika dilakukan untuk kepentingan komersial.

Untuk kasus diatas Menurut Pasal 2 ayat (1) UUHC, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan hak eksklusif, menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC, adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.

Sedangkan dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.

Lagu atau musik dalam UUHC adalah salah satu ciptaan yang dilindungi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. Lagu atau musik ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. 

Lalu apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak cipta itu? UUHC menyebutkan hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta di dalam Pasal 15 UUHC. Pasal ini mengatakan bahwa dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a.       penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b.      pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c.       pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan: 
- ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
- pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d.      Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
e.      Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f.        perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g.       pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Dalam hal ini, musik tidak termasuk ke dalam hal-hal yang dapat dianggap bukan pelanggaran hak cipta. Dapat disimpulkan pula dalam tindakan plagiarisme musik, plagiator melakukan tindakan memperbanyak suatu bagian yang substansial dari suatu karya musik dengan jalan menyalin tanpa izin pencipta. 

Atas pelanggaran hak cipta dalam Pasal 2 UUHC, pelaku plagiarisme dapat dijerat dengan ancaman pidana menurut Pasal 72 ayat (1) UUHC dengan dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Adapun penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran ini dapat dilakukan melalui Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa (penjelasan umum UUHC).

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UUHC, pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepadaPengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu. Kemudian, selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga, para pihak juga dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 65 UUHC).

Referensi
http://pusathki.uii.ac.id/artikel/artikel/solusi-sengketa-hak-cipta.html
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt533af41a41909/penerapan-hukum-dalam-plagiarisme-musik

Sumber berita:
http://kumpulan-berita-unik.blogspot.com/2013/07/Kasus-Hak-Cipta-Lagu-Di-Indonesia.html

UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN CONTOH KASUSNYA

I. UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang     :    
a.   bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.   bahwa pembangunan perekonomian nasional opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c.    bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d.   bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindung dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab;
e.   bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
f.    bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g.   bahwa untuk itu perlu dibentuk undang undang tentang perlindungan konsumen.

Mengingat          :  
Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan      :       UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
2.      Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3.      Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4.      Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5.      Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6.      Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.      Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8.      Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9.      Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10.  Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11.  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12.  Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13.  Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan :
a.       meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.      mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.       meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.      menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.      menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.        meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama

Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4

Hak konsumen adalah :
a.       hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.      hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.        hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.       hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah :
a.       membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.      beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.       membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.      mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6

Hak pelaku usaha adalah :
a.       hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.       hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.       beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.      memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.       memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.      menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.      memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.        memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.       memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB IV

PERBUATAN YANG DILARANG

BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8

(1)    Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.       tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b.      tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.       tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.      tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.      tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.        tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.       tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.      tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.         tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j.        tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

(2)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4)    Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9

(1)    Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah:
a.       barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.      barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.       barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
d.      barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.      barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.        barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.       barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.      barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.         secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.        menggunakan katakata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k.       menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2)    Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3)    Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.       harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.      kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.       kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.      tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.      bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11

Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a.       menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.      menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.       tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.      tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.      tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.        menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Pasal 13

(1)    Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2)    Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a.       tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.      mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c.       memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.      mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a.       tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.      tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17

(1)    Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.       mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.      mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.       memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.      tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.      mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.        melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai periklanan.

(2)    Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

BAB V

KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU

Pasal 18

(1)    Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.       menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.      mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.        memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.       menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2)    Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)    Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)    Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini.

BAB VI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pasal 19

(1)    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2)    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3)    Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4)    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21

(1)    Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2)    Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24

(1)    Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a.       pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.      pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2)    Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25

(1)    Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2)    Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a.       tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.      tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.       barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.      cacat barang timbul pada kemudian hari;
c.       cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.      kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.      lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.

BAB VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama

Pembinaan

Pasal 29

(1)    Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2)    Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3)    Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4)    Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a.       terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.      berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.       meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan  penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 30

(1)    Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2)    Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3)    Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4)    Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5)    Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6)    Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

Bagian Pertama

Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas

Pasal 31

Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 32

Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 33

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

Pasal 34

(1)    Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.       memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.      melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.       melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.      mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.      menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.        menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.       melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

(2)    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.

Bagian Kedua

Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 35

(1)    Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurangkurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyakbanyaknya 25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2)    Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)    Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)    Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.

Pasal 36

Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a.       pemerintah;
b.      pelaku usaha;
c.       lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d.      akademis; dan
e.      tenaga ahli.

Pasal 37

Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.      berbadan sehat;
c.       berkelakuan baik;
d.      tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.      memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f.        berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 38

Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a.       meninggaldunia;
b.      mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.       bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia;
d.      sakit secara terus menerus;
e.      berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f.        diberhentikan.

Pasal 39

(1)    Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu oleh sekretariat.
(2)    Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3)    Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 40

(1)    Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2)    Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 41

Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 42

Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX

LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN

SWADAYA MASYARAKAT

Pasal 44

(1)    Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2)    Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3)    Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a.       menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.       bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.      membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.      melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB X

PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Pertama

Umum

Pasal 45

(1)    Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2)    Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3)    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang.
(4)    Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 46

(1)    Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.       seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.      kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.       lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2)    Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3)    Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 47

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 48

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

BAB XI

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Pasal 49

(1)    Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2)    Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.      berbadan sehat;
c.       berkelakuan baik;
d.      tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.      memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.        berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3)    Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsure konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4)    Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang.
(5)    Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 50

Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas:
a.       ketua merangkap anggota;
b.      wakil ketua merangkap anggota;
c.       anggota.

Pasal 51

(1)    Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
(2)    Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
(3)    Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 52

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a.       melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.      memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.       melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.      melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini;
e.      menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.        melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g.       memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.      memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini;
i.         meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.        mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.       memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.         memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m.    menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undangundang ini.

Pasal 53

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal 54

(1)    Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
(2)    Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikitsedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3)    Putusan majelis final dan mengikat.
(4)    Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal 55

Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.

Pasal 56

(1)    Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2)    Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3)    Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4)    Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(5)    Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Pasal 57

Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.

Pasal 58

(1)    Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2)    Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3)    Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

BAB XII

PENYIDIKAN

Pasal 59

(1)    Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2)    Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b.      melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukm yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
d.      melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e.      melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f.        meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3)    Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4)    Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

BAB XIII

S A N K S I

Bagian Pertama

Sanksi Administratif

Pasal 60

(1)    Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
(2)    Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3)    Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan.

Bagian Kedua

Sanksi Pidana Pasal 61

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62

(1)    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2)    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)    Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a.       perampasan barang tertentu;
b.      pengumuman keputusan hakim;
c.       pembayaran ganti rugi;
d.      perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.      kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.        pencabutan izin usaha.

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undangundang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 65

Undang undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 20 April 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 20 April 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA


II. Contoh Kasus

KONFLIK KETENAGAKERJAAN : Buruh PT SSIP Di-PHK, SBSI Tuntut Keadilan

Solopos.com,SUKOHARJO — DPC Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sukoharjo menuntut masalah peselisihan antara buruh dengan manajemen PT Sami Surya Indah Plastik (SSIP) di Pandeyan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah diselesaikan secepatnya. Buruh dinilai mendapat perlakuan tak adil setelah diberhentikan sepihak.“Persoalan ini muncul karena ada tiga orang buruh perempuan yang diberhentikan sepihak. Persoalan lainnya yakni berkaitan dengan keberadaan buruh tidak diikutsertakan dalam BPJS,” ujar Ketua DPC SBSI Sukoharjo Slamet Riyadi seusai mengadu ke Komisi IV DPRD Sukoharjo di Gedung Dewan setempat, Sabtu (26/4/2014).

Terkait masalah itu DPC SBSI bersama buruh mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) dan DPRD Sukoharjo. Kedua institusi di lingkungan Pemkab Sukoharjo itu pun memfasilitasi pertemuan dengan pihak perusahaan dan BPJS yang dihadirkan di gedung Dewan.Slamet menceritakan ketiga buruh perempuan itu sejak 24 Maret sudah tak bekerja di perusahaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Mereka adalah Sri Sartini, Sri Pujianti dan Sriyanti. Mereka memiliki masa kerja empat tahun hingga 12 tahun.

Mereka dinilai mendapat perlakukan tak adil karena dianggap masa kerja sesuai kontrak telah habis. Karena itu mereka kemudian tak mendapat perpanjangan. Slamet menyelaskan pemutusan hubungan kerja itu karena perusahaan mengklaim ketiga buruh menolak meneken kontrak kerja baru. Padahal sebenarnya kejadian tersebut sama sekali tidak ada. “Justru perusahaan yang tidak mau mempekerjakan ketiga buruh itu lagi,” kata Slamet.

Jika melihat masa kerja para buruh itu, ungkap Slamet, sesuai aturan, seharusnya mereka sudah diangkat sebagai pekerja tetap. Tapi kenyataanya mereka dianggap masih berstatus kontrak.Sementara itu, salah seorang buruh yang diberhentikan sepihak, Sriyanti, mengakui dia dan rekan-rekannya diberhentikan sepihak. “Kami sudah satu bulan ini tidak bekerja di PT SSIP karena itu saya berharap ada kejelasan nasib,” papar dia.

Sementara itu, HRD PT SSIP, Hendro, mengatakan soal kejelasan nasib ketiga buruh dan pekerja lainnya termasuk permintaan mengikutsertakan dalam BPJS, pihaknya belum bisa memberikan jawaban. Menurut dia, hal itu membutuhkan pembicaraan lanjut dengan pimpinan perusahaan.Wakil Ketua DPRD Sukoharjo, Nurdin mengatakan, Disnakertrans seharusnya bisa menjembatani persoalan antara buruh dengan perusahaan. Yang terjadi kenyataannya justru penanganan dianggap terlalu lama. Hal itu dinilai membuat buruh semakin kesal sehingga mengadu ke DPRD. Karena itu Nurdin berharap keputusan akan diberikan perusahaan pada 8 Mei sesuai kesepakatan bersama. “Saya berharap nanti juga harus segera diputuskan pihak perusahaan, terkait tuntutan buruh agar diikutsertakan dalam BPJS,” kata Nurdin.

Analisis:
Kasus diatas jelas sekali bahwa hal tersebut merugikan pihak buruh nya dimana mereka diberhentikan secara sepihak tanpa pembicaraan lebih lanjut serta jam kerja yang tidak teratur, akan lebih baik jika perusahaan bisa memberikan tindakan atau jawaban yg jelas, tegas, dan cepat agar buruh buruh tersebut bisa mendapatkan kejelasan tentang nasib mereka kedepannya.

Referensi:

http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/447/node/34/uu-no-8-tahun-1999-perlindungan-konsumen

http://www.solopos.com/2014/04/27/konflik-ketenagakerjaan-buruh-pt-ssip-di-phk-sbsi-tuntut-keadilan-504913